Dongeng

Karena setiap perempuan memunyai dongeng rekaan milik mereka sendiri. Terutama dongen tentang cinta.

 

Demi melihat alasan kenapa sesosok Fedi Nuril mampu mematahhatikan perempuan se-Indonesia yang katanya Raya, maka saya menonton film Surga yang Tak Dirindukan. Pemerannya selain abang Fedi Nuril juga ada Laudya Cinthia Bella dan Raline Shah.

Agak seperti film ayat-ayat cinta di mana abang Fedi Nuril punya istri 2. Film Surga yang Tak Dirindukan juga mengisahkan Bang Fedi Nuril punya istri 2. Satu karena cinta, satu karena terpaksa demi menolong orang lain.

Saya sih setuju ama argumen Arini (Bella) yang menyatakan, kalau mau nolong kenapa juga mesti dinikahin? Iya, kan. Nolong sih nolong aja. Gak usah pake ada janji-janji nikah deh.

Takutnya nih, sekarang akibat nonton itu pilem banyak perempuan baper Indonesia yang nekad terjun dari lantai gedung tinggi demi ngarep ada yang bujuk-bujuk untuk jangan lompat dengan iming-iming dinikahin.

Oh itu gak mungkin yak? Palingan Cuma saya aja ya yang ujug-ujug pengen belagak bunuh diri supaya ada yang ngelamar.

Wuih.. sadar, Tan. Itu mah Cuma pilem. Pilem doang. Jangan ngarep ada sosok KW-an fedi Nuril yang bakalan baik hati nikahin orang yang mau bunuh diri.

Ada pernyataan yang saya suka dari Arini ketika marah-marah sambil nangis menghujat Meirose (Raline Shah)

“Kamu telah berhasil menghancurkan dongeng saya, untuk menghidupkan dongeng kamu.”

 

Pada kalimat itu saya takjub. Pertama, takjubnya saya melihat ada dua perempuan berparas cantik dalam satu scene. Mungkin kalau cowok yang nonton bakal bingung ngebela siapa. Arini atau Meirose.

Kedua, tetiba waktu terasa membeku. Otak saya berkejaran ke belakang. Memory saya menangkap suatu masa di mana ketika…

 

Dongeng milik saya hancur.

 

 

Seorang gadis dari keluarga sederhana. Berparas biasa. Berstatus sosial rata-rata dengan tingkat ekonomi standar. Ditemukan oleh keluarga terpandang. Dipinang oleh lelaki tampan, mapan dan matang. Didoakan agar menjadi sepasang dengan lelaki tampan. Menjadi perempuan beruntung ala ala Cinderella.

 

Seperti itu dongeng saya. Dongeng yang bukan saya khayalkan. Namun dongeng nyata yang tercipta tiba-tiba untuk saya.

 

Lalu…

 

Petaka muncul. Pinangan dibatalkan. Kegusaran hati menghancurkan doa dan harapan. Menjadi sepasang tinggal kenangan.

Dongeng saya dihancurkan oleh orang lain. Dengan sengaja.

 

Saya jadi berpikir. Apa memang mungkin dunia isinya begini. Dongeng milik kita akan menindih dongeng milik yang lain. Agar suatu dongeng milik kita berakhir bahagia kita harus menghancurkan dongen rekaan perempuan lain. Iyakah benar seperti itu?

 

Ingatan saya kembali ke beberapa tahun silam. Ketika dongeng saya belum tercipta. Kala itu saya diberikan kesempatan untuk memasuki dongeng indah yang seseorang ciptakan buat saya. Konsekuensinya ada dongeng perempuan lain yang hancur bila dongeng saya ingin tercipta.

Mungkin karena sang pangeran bukanlah pangeran impian. Maka dongeng itu saya abaikan. Tak tertarik rasanya menghacurkan dongeng milik orang lain hanya demi pangeran yang tak memikat hati.

Dengan demikian. Iyakah sebuah dongeng tercipta dengan menghancurkan dongeng orang lain?

 

Hidup sih memang begitu. Ada benang merah setiap kisah dari setiap manusia di dunia. Saya yakin itu. Keputusan A yang kita ambil bakal membuat hidup orang lain terjadi dengan cara berbeda. Keputusan orang lain juga akan berdampak pada jalan hidup kita. Karena kita terkait dengan benang merah takdir kehidupan.

 

Dongeng…

Mungkin ada perempuan beruntung yang dongengnya tercipta indah tanpa membuat dongeng perempuan lain hancur. Mungkin ada dongeng yang memang ditakdirkan sejati miliknya. Dan saya kebagian yang tidak. Dongeng saya hancur untuk menghidupkan dongeng perempuan lain.  Mungkin.

 

Namun demikian. Dongeng perempuan tetaplah abadi. Tetap hidup selama perempuan tersebut bernafas. Abadi dalam setiap harapan dan doanya setiap memulai hari. Maka itu, saya juga ingin optimis. Kelak, dongeng saya akan tercipta. Dongeng yang sejati hanya untuk saya. Dongeng yang tidak akan dihancurkan atau malah menghancurkan dongeng milik orang lain. Dongeng yang hanya akan melengkapi dongeng kisah hidup sang pangeran agar membuat akhir yang bahagia.

 

Karena meski bukan putri berparas jelita, setiap perempuan mengkhayalkan dongeng cintanya yang indah, yang megah.

Ciptakanlah Kesempatan

Apa efek samping dari keracunan karbon monoksida? Tiba-tiba dijemput di Luengputu oleh Ibu saya untuk dibawa pulang ke rumah. Lalu mendekam lemas di rumah gak bisa ke mana-mana. Selagi nunggu kondisi badan fit atau malah terus melemah hingga diwacanakan akan opname, saya menghabiskan waktu menonton televisi. Suatu hal yang langka saya lakukan. Nonton televisi itu langka, nonton televisi selagi di Banda Aceh? Wah.. emang pernah kah?

Dengan kondisi langka inilah saya menemukan suatu tontonan menarik di layar kaca. Sebuah film dengan judul Hitch. Karena saya menontonnya di setengah bagian akhir dan merasa film ini seru dan layak ditonton ulang saya memutuskan untuk mendownloadnya saja. Lumayan, selagi di rumah ada wifi. Eh lalu adik saya mengatakan kalau film barusan itu bisa saya tonton ulang di TV tanpa perlu mendownloadnya?

Abaikan mulut saya yang menganga lebar. Baru tau kalau TV Ibu saya bisa secanggih itu. Oke. Bukan TV-nya yang canggih tapi layanan TV berbayar yang disewa Ibu saya yang canggih. Selama ini sungguh saya gak menyadari keluarbiasaan ini akibat saya gak pernah keracunan karbon monoksida. Eh bukan, gak pernah nonton TV ding.

 

Sebenarnya saya mau mengisahkan sedikit gambaran soal film yang baru saya nonton.

Sebuah film yang dimainkan oleh Will Smith yang berperan sebagai Alex Hitchens yang berprofesi sebagai Dokter Cinta. Job desk-nya adalah membantu pria-pria yang tidak memunyai kesempatan mendekati wanita pujaan hati mereka agar dapat berkencan dan menjalin hubungan. Pria yang dibantunya dibatasi hanya para pria yang hanya benar-benar mencintai perempuan yang selama ini diincar. Bukan para pria yang mengincar demi rasa penasaran lalu mencampakkan.

 

Hal yang membuat saya tertarik di sini adalah betapa benarnya Alex. Bahwa memang sebenarnya banyak pria di dunia ini tak berani mendekati wanita pujaannya karena merasa wanita pujaannya berada di kelas yang berbeda dengannya. Menganggap wanita cantik, kaya dan cerdas tak layak untuk dirinya dan berakhir hanya dengan mencintai dalam diam, mengamati dengan kelam, hingga akhirnya larut dalam penyesalan ketika wanita itu jatuh ke cinta lelaki yang salah.

Menurut saya, tak ada aturan siapa berhak mencintai siapa di dunia ini. Asal tulus, lelaki manapun bisa mencintai wanita seluarbiasa apapun. Namun kenyataan malu dan minder jadi ego yang lebih dipegang lelaki ketimbang menunculkan suatu keajaiban menciptakan momen yang membuat impian menjadi nyata.

Alex, bertugas menciptkan moment tersebut. Moment tidak sengaja yang sengaja dibuat agar si pria dapat dekat dengan wanita yang dikaguminya.

Pria sebenarnya gak bisa hanya mengagumi dalam diam dan akhirnya merelakan wanita impian ke pria lain. Pria haruslah menciptakan kesempatan bila memang kesempatan itu tidak tercipta alami. Kesempatan untuk menarik perhatian wanita.

Karena apa?

Karena tidak semua perempuan, atau tidak.

Mmmm… Begini. Perempuan pada dasarnya menyadari kalau dia tidak akan berakhir dengan lelaki super sempurna dengan tampan, kekayaan, matang, pribadi yang bagus, baik hati dan segala titel kesempurnaan dalam satu wujud lelaki. Perempuan sadar, seperti tidak semua lipstik murah akan berakhir jelek di bibir mereka, begitu juga dengan lelaki, tidak semua lelaki yang tidak memunyai segala kesempurnaan akan berakhir jelek di pelaminan bersama mereka.

Karena kami* para perempuan sadar. Tidak ada lelaki sempurna dalam satu paket di dunia ini. Maka itu, meskipun setangguh dan sekeras apapun kami, sehebat dan secerdas apapun kami, kami hanya tengah menanti. Ada seseorang lelaki berani yang mencoba menciptakan kesempatan untuk memulai hubungan. Lelaki yang sebenarnya tulus. Lelaki yang mungkin tidak kaya, mungkin tidak tampan, mungkin tidak gagah, namun lelaki berani yang membuat kami tersenyum, merasa nyaman hingga kami berkata: he is the right.

 

*iya deh. Saya deh saya. Bukan kami. Saya deh.

 

Karena saya tahu sekali bagaimana hati saya mencelos kecewa ketika tahu bagaimana seorang lelaki yang saya kagumi dan saya yakini pantas menjadi imam saya beranjak mundur. Hanya karena ia merasa penghasilan bulanannya kalah jauh dibandingkan penghasilan bulanan saya.

Oke. Mungkin saya tidak perlu kecewa. Mungkin ia memang tidak pantas menjadi imam saya. Imam macam apa yang pengecut bukan?

Jadi para lelaki yang membaca blog ini entah karena kamu memang pembaca tetap Kura-kura Hitam atau hanya selingan saja, pahamilah dua hal:

  1. Bahwa tidak semua perempuan itu mengharapkan kekayaan atau ketampanan. Namun yang mereka inginkan hanyalah keberanian dan ketulusan. Maka, ciptakanlah kesempatan.
  2. Nonton aja filmnya mungkin kamu akan sadar. Judulnya Hitch. Pemerannya Will Smith dengan Eva Mendez sebagai lawan mainnya. Maka, belajarlah menciptakan kesempatan.

Sebuah Film: The Proposal

Hasil dari menonton ulang film The Proposal adalah saya jadi semakin menyadari kalau menikah benar-benar akan mengubah hidup seseorang. Baik mengubah menjadi lebih bahagia, atau mengubah menjadi suram bak neraka. Maka itu, tak heranlah ada sebuah gambar sepasang pengantin menikah dengan latar belakang pantai suram berikut kata-katanya, “Game Over”, yang teman saya temukan di google.

Mari kita bahas Film yang diperankan oleh Sandra Bullock berpadu dengan Ryan Gosling.

Oh no. Ryan Reynolds rupanya. Saya sering kebalik sih ama nama mereka berdua. Kalau soal cakepan mana, saya sih akan menunjuk Ryan Gosling. Menurut mata saya ya.

Jadi film ini mengisahkan seorang wanita karir bernama Margareth Tate yang sangat ambisius dalam bekerja dan tipikal workaholic, independen, single, kaya, cantik, berkuasa, sukses dan ya pokoknya fantastic yang membuat saya berandai-andai agar saya bisa jadi setengahnya aja dari karakter Margareth Tate ini. Tapi mungkin sudah setengahnya sih kalau patokannya adalah status singlenya.

Margareth Tate harus berurusan dengan pihak imigrasi mengenai perpanjangan visanya yang tak ia lakukan hingga telat, lalu pihak imigrasinya memutuskan mendeportasi Margareth.

Demi tidak ingin didepak kembali ke negara asalnya di Kanada  dan kehilangan karir sebagai Kepala Editor di sebuah penerbit buku, sekonyong-konyong ia menjadikan asistennya yang bernama Andrew Paxton (Ryan Reynolds) sebagai tunangannya dan calon suaminya. Secara sepihak Margareth memutuskan mereka akan menikah dalam waktu dekat. Tentu saja pernikahan ini palsu dan sebuah trik agar Margareth tetap bisa tinggal di Amerika dengan alasan ikut warga negara suami.

Menjelang pernikahan, Margareth menjadi tak tega melanjutkan pernikahan kontrak dengan Andrew. Ia merasa iba dan tak sampai hati harus merusak hidup Andrew yang bahagia dan damai serta dikelilingi oleh orang-orang yang mencintai Andrew (keluarga, teman dan mantan pacar). Ia merasa, membuat Andrew menikahinya hanya untuk kepentingan pribadinya akan merusak masa depan Andrew. Dan ia tak tega. Tentu saja ia tak tega karena akhirnya perlahan ia mulai mencintai Andrew.

 

Nah.. kalimat perpisah Margareth untuk Andrew –lah yang membuat saya melek (lagi) soal pernikahan.

“…menghancurkan kehidupan seseorang itu tidaklah mudah. Apalagi ketika kau tahu betapa bahagianya kehidupan orang tersebut.”

Begitulah penggalan kalimat Margareth di depan altar ketika hendak mengucapkan janji nikah. Tentu saja kalimat menghancurkan kehidupan itu berkaitan dengan pernikahan.

Bila mengingat-ingat lagi. Pernikahan memang bisa saja menjadi penghancur masa depan orang. Bila salah satunya menjalani tidak siap, ikhlas, atau tidak cinta. Atau bila siap di awal tapi melupakan tanggung jawab setelah dijalani.

Pernikahan gak melulu membawa kebahagian, itu yang saya amati dari kisah hidup orang. Maka dari itu, alangkah bijaknya, sebelum menikah pastikan dulu satu hal, lamaranmu akan menghancurkan hidup seseorang atau malah membahagiakan seseorang?

Sebaliknya, jawaban “Iya”-mu pada pelamar akan melengkapi hidupnya atau akan membuat suram masa depannya.

 

Pastikan itu. Setelah pasti maka jalanilah sesuai tekad. Karena hidup seseorang bukanlah bahan becandaan karena kita kurang piknik. *note to my self*

Akhirnya tentu saja film The Proposal yang rilis di tahun 2009 ini berakhir Happy Ending. Margareth dan Andrew menyadari kalau mereka saling cinta. Dan pernikahan mereka akhirnya terjadi dengan tanpa paksaan atau kepentingan salah satu pihak. Tidak menghancurkan hidup satu sama lain.

Saya suka film ini. Makanya ini mungkin kali ketiga saya nonton ulang. Saya menyukai karakter Margareth dan saya suka kisah yang memunyai unsur keluarganya. Di mana dalam film ini keluarga hangat dan lucu yang dimunculkan adalah keluarga Andrew.

 

Oke. Silahkan nonton kalau berminat. Kalau gak suka ya bukan salah saya. Beda selera aja sih kita.

Jembatan Jiwa

Ini mengenai salah satu dialog dalam adegan drama korea Good Doctor. Drama Korea yang berjumlah 20 episode yang mengisahkan tentang Kehidupan Dokter Bedah Anak. Tokoh utamanya adalah seorang Dokter Bedah Anak autis yang mengidap savant syndrome. Ya.. begitulah kisah umumnya dari drama tersebut. Ini bukan blog drama korea jadi saya ogah menceritakan detilnya atau previewnya karena jumlah episode-nya banyak. Dua puluh. Banyak kan?

Tapi jujur, saya suka drama ini karena memberi saya pengetahuan baru akan dunia kedokteran. Yah.. meskipun banyak kesempatan saya harus pause tontonannya dan beralih ke google guna mencari tau makna dari perkataan dalam dialog dengan tema kedokteran ini.

 

Episode 19. Ada scene yang menceritakan di mana Dokter Park Shi On (dokter autis) merayakan hari pertamanya berpacaran dengan Dokter Cha Yoon Soe dengan pergi ke suatu tempat. Tempat yang dipilih adalah ke tukang ramal.

 

Dokter Cha menanyakan bagaimana kelak hubungannya dengan Dokter Park, apakah akan baik-baik saja. Si Peramal mengatakan hubungan mereka akan baik-baik saja tanpa hambatan. Namun, mereka hanya memiliki satu jembatan jiwa.

Jembatan jiwa.

Apa itu?

Bagi pasangan yang putus lalu kembali bersama, maka mereka memiliki banyak jembatan jiwa. Namun bagi Dokter Park dan Dokter Cha, mereka hanya memiliki satu jembatan jiwa. Yang mana, bila itu hilang mereka tidak akan bisa bersama lagi. Gak ada istilah balikan setelah jadi mantan.

Jembatan jiwa.

Hmmm…

Saya punya prinsip. Gak pernah mau balikan ama mantan. Sekeras apapun usaha mantan ngajak balikan, saya tetap gak mau. Bukan tanpa alasan, tentunya dengan pemikiran matang.

*halagh…

Jadi gini, menurut saya, suatu hubungan itu gak selamanya mulus seperti paha JKT 48. Pasti akan ada liku, konflik dan segala perintilan masalah. Ini adalah sebuah keniscayaan. Maka itu, diharapkan bila sudah memutuskan untuk berkomitmen, maka sebaiknya segala permasalahan diselesaikan baik-baik, bukannya melarikan diri dari masalah lalu dengan gampangnya minta putus.

Saya pernah ngasih tau salah satu mantan saya yang saya lupa mantan ke berapa. *halagh*

Ngasih taunya gini.

“Bila ada masalah sebaiknya kita selesaikan. Kita evaluasi bersama. Lihat di mana, apa dan siapa yang salah. Jangan langsung minta putus. Kalau kayak gini, gimana entar kita menikah. Jangan-jangan kalau ada masalah Abang langsung ceraikan Intan,”

Nah.. buat kamu yang merasa mantan saya, dan ngerasa pernah saya katakan hal tersebut di atas boleh ngasih tau saya sebenarnya kamu mantan yang mana.

*disemprot baygon*

Yap. Setelah berhasil menghindar dari semprotan baygon, saya akan melanjutka tulisan ini.

Saya memang bukan pasangan yang baik. Banyak pacar saya terdahulu menyoalkannya. Saya tidak perhatianlah, tidak menunjukkan cinta lah, tidak bersikap layaknya pacar. Iya. Ketika saya memutuskan mau berpacaran, saya memang masih menutup diri dan mengindari kontak fisik dalam wujud apapun. Mungkin itulah yang membuat mereka tidak yakin dengan perasaan saya. Namun, dibandingkan dengan perasaan, saya punya keteguhan yang kuat. Bilamana saya telah memutuskan untuk berkomitmen dengan satu orang, maka saya akan serius dengannya. Cuma dia. Hanya dia. Bahkan meski saya digoda lelaki tampan mirip Adam Levine pun saya bergeming. Pasangan saya akan menang mutlak dibandingkan siapapun di dunia ini.

Itu saya.

Makanya, ketika ada suatu masalah. Saya selalu sebagai pihak yang paling ngotot untuk mempertahankan hubungan. Ini artinya juga, saya selalu menjadi pihak yang diputuskan atau ditinggalkan. Karena karakter saya yang bertahan saya gak pernah memutuskan siapapun sebesar apapun masalahnya. Sebesar apapun kesalahannya. Entah saya terlalu baik hati, entah bodoh. Namun bagi saya, hubungan bukan suatu bercandaan yang bisa ditinggalkan kala bosan.

Kesetiaan saya boleh diadu. Keteguhan saya boleh diuji. Silahkan saja. Namun bila semua sudah berkhir, jangan pernah muncul dan memintanya kembali. Jangan.

Seperti teguhnya hati saya mempertahankan hubungan yang krisis, begitulah juga teguhnya hati saya tak pernah mau berbalikan sama mantan.

Kesempatan kedua?

Tentu kesempatan kedua bagi saya bukanlah menerima kembali mantan. Saya telah berikan kesempatan itu. Tentunya ketika kata putus terucap, di situ saya telah meminta penangguhan waktu untuk berpikir ulang. Berpikir matang. Berpikir bijaksana. Menyelesaikan masalah bukan menghindarinya. Itulah kesempatan kedua yang saya berikan. Saya berikan untuknya. Untuk saya. untuk hubungan kami.

Namun kala palu sudah diketuk tanda keputusan sudah membulat maka semuanya berakhir. Selanjutnya, jangan pernah meminta mengulang sesuatu yang telah diputuskan. Jangan pertanyakan lagi rasa saya. Semua berakhir.

Seperti menjilat ludah sendiri. Itulah analogi yang saya berikan ke mantan saya kala dia meminta balikan. Kasar memang. Tapi menurut saya demikian adanya.

“Untuk masalah kemarin saja, Abang memilih mundur dan meminta putus. Bukan gak mungkin ke depannya Abang akan melakukan hal yang sama. Sekali Abang gak mampu bertahan, itu berarti selamanya,” itulah jawaban saya ketika mantan meminta putus.

Bukan tentang jembatan jiwa saya dan mantan saya Cuma satu. Bukan. Ramalan itu hanya di drama dan saya tidak memercayainya. Hanya saja, ini sebuah prinsip saya.

Jadi, sekeras apapun mantan meminta kembali pada saya. Saya hanya bisa bersimpati atas segala penyesalannya. Penyesalan berupa dia pernah menyia-nyiakan perempuan seperti saya.

Pada episode 20 yang menjadi episode terakhir drama bertajuk Good Doctor muncul lagi si Peramal dalam sebuah scene dengan Dokter Cha. Akhirnya terkuaklah bahwa ramalannya hanya omong kosong belaka. Bahwa Jembatan Jiwa hanya akal-akalan dia saja agar semua pasangan berhati-hati dengan hubungan mereka. Dan konsep “jembatan jiwa Cuma satu” dia katakan ke semua pasangan.

Drama Good Doctor ini sendiri entah kenapa membuat saya penasaran dengan dunia kedokteran. Padahal sebelumnya saya tak pernah bercita-cita menjadi dokter. Bercita-cita menjadi istri dokter sih pernah. Untuk itu, mungkin kini saya perlu bermunajat lagi pada-Nya, meminta Ia memunculkan sesosok dokter tampan, mapan, dermawan yang kali-kali aja mau ngelamar saya.

 

Allahumma aamiin…

 

Pekalah Terhadap yang Hati Rasakan

Tulisan yang akan saya tulis berikut ini sebenarnya sudah sejak lama ingin saya tulis. Namun alasan klise berupa letihnya kerjaan kantor hingga begitu malas membuka laptop menjadi alasan juara.

Nah.. demi demi ingin kembali membuat rumah Kurakura Hitam kembali riuh, maka saya membuka memo untuk mencari topik-topik yang pernah saya siapkan.

Kini saya akan membahas sebuah quote yang saya kutip dari drama korea yang berjudul Master’s Sun. Sebuah drama Korea yang menceritakan tentang seorang perempuan yang bisa melihat hantu. Nah, karena saya gak pinter me-review sebuah film maka saya gak akan lakukan hal tersebut. Silahkan googling bila kamu penasaran dengan drama korea tersebut.

Ketika aku tidak jujur terhadap perasaanku, rasa sakit yang kurasakan akan memberiku jawaban (Kang Woo, Master’s Sun)”

Salah satu alasan perempuan menyukai salah satu quote dan menyimpannya ya karena mungkin mereka mengalaminya. Saya salah satu dari mereka. Perempuan yang menyimpan quote karena cocok dengan pengalaman atau perasaannya.

Kurang lebih setahun lamanya saya pernah terperangkap dalam sebuah hubungan semu, perasaan palsu. Kenapa dipertahankan? Demi sebuah gengsi. Demi harga diri. Demi tenangnya hati orangtua.

Bagaimana hati saya?

Sekarang saya akan jujur.

Tawa saya itu palsu. Ada malam-malam di mana saya menangis tersedu tak mampu berbuat apa.

Keriaan saya itu palsu. Karena nyatanya saya hanya bermuram durja.

Debar pada dada saya? Jangan pernah harap itu ada. Tak pernah ada.

Saya tak pernah mencintai lelaki tersebut. Saya menghormatinya, iya. Dia sosok yang pantas dihormati (saat itu). Dengan segala yang ia miliki sangat bagus untuk menaikkan prestise saya di mata temen-temen saya. Prestise yang bukan saya buat sebenarnya. Prestise yang tiba-tiba muncul sejak lelaki ini hadir di hidup saya.

Mulailah orang-orang berkomentar kalau saya begitu serasi dengannya. Kalau saya cocok dengannya. Kalau saya begitu beruntung mendapatkannya. Hingga membuat saya terlena.

Terlena hingga menyingkirkan hati saya, dan membela ego saya. Biarkan hati saya mati rasa. Mati semati-matinya demi sebuah yang namanya ‘martabat’ (mungkin).

Tapi airmatalah yang menjadi saksi bisu betapa ini begitu berat. Namun saya memang keras kepala. Berusaha mengatakan ini akan baik-baik saja. Bahwa ini tidak sulit.

Nyatanya apa?

Perasaan itu bukan sesuatu yang bisa diatur. Ia bisa dikelola namun tidak bisa diperintah sesuai ego.

Akhirnya sama saja. Tak menjadi apapun. Karena sesuatu yang dipaksa gak pernah berjalan baik.

Menyesal?

Iya. Karena sudah tau menahan sakit hati selama setahun tapi masih juga maksa.

Menyesal?

Banget. Harusnya airmata-airmata itu jangan disepelekan. Hubungan itu bukan untuk menghasilkan pilu setiap malam. Hidup yang kita jalani sudah sangat ribet. Sudah sangat lelah kita bekerja seharian di kantor. Jangan lagi membuat hati menjadi lelah karena hubungan yang salah pada orang yang memang bukan ditakdirkan untuk kita.

Akhirnya… setelah lambaian tangan terjadi. Sekali ini saya bertekad. Saya akan lebih peka terhadap perasaan saya. Saya tidak mau lagi membohongi hati. Buktinya setelah perpisahan berat badan saya naik. Itu artinya. Selama kurang lebih setahun saya tersiksa hati dan batinnya.

Ke depannya. Saya tidak ingin berdebat dengan hati saya. Kelak saya ingin pasangan yang mendamaikan hati saya, yang membuat senyum saya tersungging, yang menghapus airmata saya, yang memang dtitakdirkan Tuhan buat saya. Kepadanya, saya meminta Tuhan, agar menjatuhkan hati saya sejatuh-jatuhnya, berkali-kalinya, kepada dia lelaki yang memang namanya telah ditetapkan menjadi suami saya.

Pasutri Tanpa Anak

Sebenarnya ketika saya menulis tulisan ‘Tentang Bagian Cerita Test Pack’ awalnya niatnya saya bukan menulis tentang itu. Tapi karena kalimat pembuka yang salah hingga membuat saya ngalor ngidul jadilah saya bercerita hal lain di sana ketimbang inti yang pengen saya ceritakan.

Mencegah hal serupa terjadi dua kali saya akan lanjut aja ke topik yang ingin saya ulas. Tentunya masih tentang Novel/Film Test Pack.

Singkat cerita novel itu menceritakan tentang sebuah keluarga yang tak memiliki keturunan. Lebih spesifik lagi suami yang mandul.

Ada beberapa pasang orang yang saya kenal yang memiliki kisah serupa. Yaitu tak memiliki keturunan. Beberapa yang saya temukan adalah seumuran dengan orang tua saya. Lalu setiap kali mengetahui ada pasangan yang belum memiliki keturunan tapi masih bersama dan saling setia satu kata yang terbersit di hati saya: hebat.

Saya takjub sama pasangan yang seperti itu. Mereka saling mengerti kekurangan masing-masing. Dan lebih dari itu, mereka menerima kekurangan pasangannya. Tentu saja salah satu dari mereka ada yang mandul atau apapunlah itu penyakit yang menghambat mereka untuk mempunyai keturunan, tapi pasangan lainnya yang sehat mau mengerti dan tetap menjalani bahtera rumah tangga berdua. Kadang mungkin mereka iri ketika melihat pasangan lain menggendong anak sementara mereka tak bisa merasakannya. Tetap bertahan pada pasangannya dengan tidak menceraikan pihak yang mandul atau tidak menikah lagi itu benar-benar luar biasa menurut saya. keren.

Maka dari itu ketika melihat sepasang pasutri yang telah berumur banyak masih bersama meski tanpa anak saya selalu terharu.

Tentunya hal itu menjadi pikiran juga buat saya, kelak ketika menikah dan saya mandul (semoga tidak ya Allah) akankah suami saya masih mau menerima saya menjadi istrinya atau satu-satunya istrinya?

Tentu harapan saya adalah jawaban IYA.

Makanya saya berencana banget calon suami saya nonton film itu, agar bila hal buruk terjadi (semoga tidak ya Allah) dia bisa pikir-pikir lagi tentang kenapa akhirnya kami memutuskan menikah.

Lalu bagaimana bila yang mandul adalah suami saya? apakah saya akan menceraikannya?

Bohong kalau saya bilang saya gak kecewa. Bohong kalau saya bilang saya gak menginginkan anak. Gila, saya lebih pengen punya anak ketimbang punya suami (setidaknya ini pikiran dua tahun lalu). Saya benar-benar ingin merasakan fitrah sebagai perempuan. Hamil, melahirkan dan menyusui. Saya pengen melalui fase itu.

Lalu bagaimana bila tidak bisa? Bagaimana bila suami mandul?

Untuk sekarang saya gak tahu pasti apa yang akan saya lakukan. Tapi kalau bila yang mandul adalah saya dan saya ingin suami tetap mampu menerima saya apa adanya, tentu saja saya harus melakukan hal yang serupa. Dan saya benar-benar memohon pada Allah agar bila hal itu terjadi pada saya, maka saya diberi keikhlasan dan kesabaran luar biasa.

Karena pernikahan memang tak semata-mata punya anak. Kalau Allah belum/gak ngasih ya berarti memang itulah yang terbaik bagi pasutri itu. Hikmahnya mungkin kita diuruh menyantuni anak yatim. Allah maha tahu.

Yaaah… ini kalau-kalau lah ya…

*dalam hati berharap banget bisa menjadi Ibu bagi 4 orang anak 

Tentang Bagian Cerita Test Pack

Sudahkan anda membaca novel berjudul Test Pack? Kayaknya udah yak, eh atau malah gak baca novelnya tapi udah nonton filmnya? Yah intinya kamu tahulah ya jalan cerita novel atau film Test Pack itu gimana.

Sebagai pecinta novel dan selalu kesel sama versi layar lebar yang diangkat dari sebuah novel best seller saya gak terlalu suka ama versi filmnya. Kali ini penilaian saya lebih ke subjektif. Saya malah kurang mempermasalahkan filmnya yang jadi beda ama novel. Itu seperti sudah memang pasti akan seperti itu kalau novel akan diangkat ke sebuah layar lebar. Saya abaikan menyoal si Tata yang profesinya beda atau malah munculnya tokoh model cantik yang merupakan cinta masa lalu Rahmat. Abaikan soal itu semua. Hanya satu yang bikin saya gak suka ama versi film Test Pack ini.

Tak lain dan tak bukan adalah…

Kenapa yang memerankan Tata adalah si mbakyu Acha Septriasa?

Kenapa?

Apa salah Reza Rahardian, ya Allah? Kenapa lelaki nan ganteng itu punya lawan main Acha Septriasa?

Okeh. Ini subjektif emang. Saya gak suka Acha Septriasa. Kenapa?

Gak tahu.

*lempeng*

Saya mau cerita sedikit tapi bukan resensi yak. Dalam film test pack yang saya sesali dimainkan oleh Acha ini sebenarnya saya terenyuh nontonnya. Saya suka pas adegan pernikahan Rahmat dan Tata. Saya suka ketika ada dialog ‘Apa adanya kamu sudah melengkapi saya, neng’.

Buset…

Merinding euy ngedengernya

Tetiba saya pengen copas kalimat itu kelak buat suami saya ketika Ijab Qabul baru saja selesai. Pengen mengatakan hal yang sama.

Apa adanya abang, udah melengkapi Intan’ sambil senyum manis memamerkan deretan gigi.

Atau tidak.

Saya akan modusin lelaki yang akan menjadi suami saya nantinya. Kelak ketika kami sudah menikah saya akan mengajak dia nonton film ini. Terus saya akan mengulang-ulang adegan di mana kalimat itu ada agar si suami ‘ngeh’ dan paham kalau saya ingin dia berpikiran hal yang sama kayak Rahmat. Karena bila menilik sikap dan gayanya lelaki yang (insyallah) akan menjadi suami saya kelak ini, gak mungkin deh dia bisa bersikap seromantis itu ngucapin dialog so sweet itu.

Jadi ya, cukup dia paham. Kalau saya ingin melengkapi dia, dia melengkapi saya lalu kami saling menerima apa adanya.

Okeh, saya mulai ngayal.

Itu adegan dalam film yang bikin saya terkesima yak. Dan memang saya berencana amat ini film harus ditonton oleh calon suami saya kelak baik pada saat dia masih berstatus calon ataupun sudah berstatus suami. Karena banyak adegan di sana yang patut di tiru. Seperti ya… ngusel-ngusel tiduran di pangkuan suami sambil baca novel.

Okeh, ngayal saya udah berlebihan

*tampar diri*

Itu versi film.

Dalam versi novel yang saya baca langsung selesai dalam sekejap karena plotnya yang bagus banget diatur oleh Mbak Ninit Yunita ini, membuat novel Test Pack menjadi salah satu novel favorit saya.

Saya membacanya ketika masih kuliah. Lupa ketika semester berapa. Sudah lama. Ketika membaca cerita tersebut ada hal kecil dalam keseluruhan novel itu yang menarik buat saya. hal itu adalah panggilan Tata dan panggilan Rahmat.

Tata memanggil dirinya sendiri dengan sebutan ‘Eneng’ yang juga digunakan Rahmat untuk memanggil istrinya itu.

Rahmat menyebut dirinya ‘Kakang’ ketika ngobrol dengan Tata, dan Tata juga memanggil suaminya dengan sebutan “Kakang’.

Bila kebanyakan novel akan menggunakan kata ‘aku’ dan ‘kamu’ maka novel ini menggunakan kata ‘Eneng’ dan ‘Kakang’, dan bagi saya itu terkesan muanis banget. Dalam versi film hal ini tak terlalu kentara dimunculkan.

Saya memang suka dipanggil ‘Eneng’. Dan satu-satunya kesempatan saya bisa dipanggil ‘Eneng’ adalah ketika saya pernah bekerja di Jakarta. Ya memang saat di Jakarta lah saya menyadari saya suka sama panggilan ‘Eneng’ ketimbang panggilan ‘Mbak’ atau ‘Kak’.

Sayangnya saya orang Aceh dan calon suami pun orang Aceh, gak mungkin juga saya minta dipanggil ‘Eneng’ ama si Abang itu. Ya.. meskipun kelak kami akan tinggal di Bandung sekalipun.

Breaking Dawn Part 2 yang Konyol

Apa tanggapan kalian setelah menonton Breaking Dawn part 2?

Kalau saya sih murka.

Menurut saya itupilem terkonyol yang pernah saya tonton. Pilem yang gak ada secuil pun rasa sesal tertinggal di hati penonton.

Adegan terkonyol adalah ketika peperangan telah usai dan banyak tokoh-tokoh yang mati eh tau-tau itu Cuma hanya dilihat melalui vision si Alice. Dan si Aro demi gak mau mati konyol gak jadi memulai perang. Alhasil, adegan si Carlisle, Jasper dan beberapa lainnya yang mati juga gak jadi terjadi. Iya, karena akhirnya Aro udah ngeliat duluan hasil dari apa yang akan menjadi keputusannya melalui Alice yang bisa melihat masa depan. Makanya akhirnya Aro mengubah keputusannya.

Asyik sih pilem tanpa ada adegan yang membuat hati kita teriris. Karena kadang saya masih suka ngarep kalau Albus Dumbledore, Salah satu kembar Weasley, Tonks, Sirius Black (yang mana mereka adalah tokoh-tokoh favorite saya) gak mati dalam pilem Harry Potter. Setiap mengulang nonton film Harry Potter setiap kali pula hati saya miris. Ya soalnya ada beberapa tokoh yang mati tersebut. Nah, ketika adegan perang antara keluarga Cullen dan sahabat mereka vs Volturi saya sempat merasakan kemirisan tersebut ketika tokoh Carlisle mati dan juga Jasper. Saya sempat ikut merasakan getirnya ketika Esme dan Alice menjerit melihat suami/kekasihnya mati. Tapi tiba-tiba saya gondok ketika mendapati itu hanyalah berupa vision Alice yang belum kejadian. Akan kejadian bila Aro memutuskan perang, tapi gak kejadian kayak gitu kalau Aro memutuskan untuk mundur. Tentu saja yang dipilih si menyebalkan Aro adalah mundur soalnya dia melihat sendiri dalam perang tersebut dia dan Jane (anak buah kesayangannya) mati konyol di tangan si hebat Edward dan Bella.

Selain adegan tanpa ada yang mati yang otomatis membuat pilem ini berakhir mutlak happy ending, kenyataan Bella menjadi tokoh yang mendapatkan segalanya membuat saya juga tak suka dengan pilem ini. Saya memaafkan ending twilight yang menurut saya basi banget, tapi untuk ending Breaking Dawn part 2 ini saya gak bisa memaafkan sama sekali. Inilah menurut saya kisah dongeng yang paling dongeng. Mengalahkan kisah cinta romantic Cinderella, Putri Salju dan kawan-kawan mereka. Betapa tidak, Bella selalu mendapatkan apa yang dia mau. Dia berhasil menjadi vampire dan akhirnya hidup bahagia selamanya dengan keluarganya. Iya, selamanya karena mereka vampire dan abadi.

Lalu ada lagi tokoh Jacob. Gak dapet emaknya dapet anaknya. Nah, makin gak ada satupun kisah yang miris kan di pilem ini? Semuanya bahagia. Semuanya berakhir bahagia dengan cara yang mutlak. Tanpa pengorbanan.

Mungkin bagi para penonton sekaligus pengkhayal kisah indah, pilem ini bakal disukai karena seperti saya katakan tadi, gak ada pengorbanan. Tapi bagi saya, pilem yang gak membuat hati saya cetar membahana merasa miris terus menangis dan menyesali tokoh-tokoh yang mati adalah pilem yang konyol. Okelah jangan konyol. Tapi pilem yang gak berhasil memainkan emosi penonton.

Meskipun saya masih miris kenapa Albus Dumbledore dan salah satu kembar Weasley mati, tapi toh saya suka dengan ending seperti itu. Kebahagian yang berasal dari pengorbanan. Bukan kebahagian mutlak. Karena toh kebahagian mutlak itu memang gak akan kita dapati di dunia ini. Maka itu saya katakan, pilem Breaking Dawn adalah dongengnya dongeng.

 

Pasangan Penulis

Friends With Money. Judul sebuah film. Pertama kali saya tonton beberapa tahun lalu, tidak begitu lama juga, karena seingat saya saat itu saya masihlah kuliah. Kali kedua saya nonton, tadi malam. Ditayangkan di sebuah station tv.

Ada kesan saat saya menonton film yang diperankan oleh bintang kesukaan saya, Jennifer Aniston ini.

Ok, begini, film itu berkisah tentang 4 sahabat (ok saya selalu suka film sejenis ini, tentang persahabatan lalu di mana tetap terdapat konflik masing-masing tokoh, sebut saja seperti film Sisterhood of The Travelling Hotpants, atau yang lebih terkenal Sex and the City). Empat sahabat itu mempunyai masalah masing-masing, tapi yang kelihatan banget yang bernasib sial adalah Olivia, yang diperankan oleh Jennifer Aniston. Dia miskin, belum menikah, tak punya uang, bekerja sebagai pembantu dan selalu meminta sampel kosmetik di counter produk alih-alih membeli kosmetik perawatan wajahnya, maklum dia tak punya uang yang begitu banyak untuk ia habiskan  hanya membeli sebuah krim malam.

Saat pertama kali saya menonton film ini dahulu, ada ketakutan dalam diri saya yang akhirnya membuat saya bertanya sendiri, bagaimana kelak bila aku menjadi Olivia?

Well, dengan dulunya saya yang sangat amat skeptis soal cinta, sebenarnya wujud Olivia yang tak kunjung menikah itu membuat saya tergelitik. Ya, saya takut nanti, puluhan tahun akan datang, saya masihlah seorang single dan harus iri melihat teman-teman saya mempunyai kehidupan keluarga yang menyenangkan. Ya, saya takut menjadi Olivia pada bagian itu.

Hem…

Malam itu saya berdoa, jangan jadikan saya seperti Olivia, Tuhan.

Kisah lain.

Christine, sahabat Olivia, berkeluarga dan berprofesi sebagai penulis. Kisah hidupnya juga menggelitik saya. Ada adegan yang tak bisa saya lupakan bahkan saya masih mengingatnya beberapa hari lalu, sebelum saya menonton ulang film tersebut di TV. Adegan itu ialah saat di mana Cristine sedang bekerja bersama suaminya di sebuah ruang kerja. Dan tahu apa yang sedang mereka kerjakan?

Menulis naskah sepertinya. Entahlah itu naskah apa.

Sejak itu saya membayangkan, enak kali yak mempunyai suami yang sama-sama penulis lalu menulis bersama.

Beberapa tahun berlalu, dan saya mendapatkan seorang pacar penulis. Adegan film tersebut kembali berulang-ulang dalam benak saya sampai akhirnya saya mengutarakan keinginan saya menulis novel bersama pacar saya. Ia mengiyakan. Tapi yah, masalah teknis menjadi kendala hingga sebaris kalimat pun belum jadi sampai sekarang.

Lalu, saya mengangankan, kelak, setelah buku pertama kami jadi (buku nikah maksudnya, hehehe) maka, akan ada buku-buku lain yang tentunya akan kami tulis bersama. Seperti Christine dan suaminya itu (belakangan mereka akhirnya bercerai sih)

Well, lalu kini bukan soal masalah teknis. Ini soal ketentuan-Nya, yang akhirnya buku-buku itu tak pernah ada. Lenyap bahkan sebelum sebaris kalimat lahir.

Tapi yang selalu saya tahu adalah, meskipun mimpi saya dan dia telah lenyap. Mimpi saya masihlah sama. ingin mempunyai pasangan seorang penulis, minimal penulis blog, dan kelak, adegan seperti yang Cristine dan suaminya lakukan di ruang kerja -saling berhadapan dengan laptop masing-masing menyusun aksara membuat buku- bisa juga terjadi pada saya dan pasangan saya kelak.

Ohya, kasih selamat dulu nih buat teman blogger saya, Mifta Chaliq yang baru saja menikah, guess what? Ia menikahi seorang penulis. How lucky she is 🙂

Saya Selamat, Sodarah-sodarah

Mungkin kamu kecewa, tapi akhirnya hal itu membuatmu ‘selamat’.

 

Semalam saya menonton sebuah film berjudul Hereafter yang diperankan oleh Matt Damon. Film ini soal cenayang-cenayang gitu deh, yang akhirnya bisa membantu kita untuk bisa berkomunikasi dengan orang yang sudah meninggal.

Tahan. Saya nulis ini bukan akhirnya berharap cenayang seperi si George (Matt Damon) itu muncul di hidup saya lalu membantu saya berkomunikasi dengan almarhum pacar saya. Sama sekali bukan tentang itu, meskipun sedikit ngarep juga sih (cih.. ujung-ujungnya -___-“)

Ada satu scene yang membuat saya terkesima.

Ini dia.

Marcus adalah bocah lelaki kembar yang kembarannya bernama Jason telah meninggal. Marcus akhirnya sibuk mencari tahu kehidupan setelah kematian, dan karena ingin mengetahui/bisa berhubungan lagi denga kembarannya akhirnya Marcus pergi menemui beberapa cenayang. Dalam perjalanan menemui cenayang, di sebuah stasiun kereta api, marcus kehilangan topi kesayangan Jason, yang belakangan selalu Marcus pakai (mungkin sebagai cara agar Jason tetap ‘ada’). Karena sibuk mengejar topi yang terjatuh dan tersepak-sepak oleh banyak orang di stasiun itu Marcus jadi telat naik kereta api tersebut. Marcus tertinggal. Kecewa, Marcus berbalik. Baru beberapa langkah Marcus berbalik tau apa yang terjadi sodara-sodarah?

 

Tidak tahu?

Ayo beli pilemnya di toko-toko kesayangan anda.

*dikubur hidup-hidup*

Sorry.

Jadi.. itu kereta api meledak.

Meledak.

Saya jadi merinding nontonya. Ternyata sibuk mencari topi membuat nyawa Marcus selamat.

 

Pernah mengalami hal yang serupa?

Saya pernah.

Pas saya di Jakarta kemarin ituh, saya pindah kos-kosan dari Cakung ke daerah Cawang dengan alasan agar deket dengan kantor (setiap kali pindah sesuai tempat ngaudit). Saya nyari kosan berdua dengan seorang teman. Dapetlah kosan cantik, baru, bersih dengan kamar yang lumayan besar di daerah deket PGC. Udah dapet kosan saya telpon bos saya memberitahu kalau saya udah dapet kosan baru (soalnya dia yang bayar). Bos saya gak setuju, beliau bilang saya harusnya nyari kosan di Jalan Dewi Sartika aja, karena hanya butuh 10 menit buat jalan ke kantor. Kalau saya ngekos di deket PGC itu saya mesti naik angkot dan katanya kalau pagi macet. Kan saya bangunnya telat, kalau entar macet saya bakal telat datang ke kantor, kalau telat entar gaji saya dipotong -____________-“

Tapi saya udah capek nyari kosan lain. Udah pegel kaki saya ngesot seluruh daerah Cawang. Tapi lalu saya gak enak hati juga, takut kualat ngebantah orang tua (si bos). Saya curhat dengan manager saya, saya telpon rekan kantor saya, mereka juga sepakat dengan si bos agar saya ngekost di Jalan Dewi Sartika aja. Saat itu baru 3 bulan saya di Jakarta, demi keselamatan lahir batin saya ikutin juga saran bos dan rekan kerja saya. Esoknya saya nyari lagi kosan dan ketemu sebuah kosan di Jalan Dewi Sartika. Bener aja, begitu keluar gang, ituh gedung kantor saya udah keliatan dengan jumawanya. Setiap hari saya salto dikit aja udah nyampe ke kantor.

Okeh. Saya curhatnya kepanjangan.

Balik lagi ke cerita saya yang mirip dengan pilem itu.

Seminggu setelah ngekos di situ, pada hari Sabtu saya pacalan sama alm. pacar saya. Karena gak tau alamat kost baru saya, kami janjian ketemu di PGC. Setelah ketemu kami lanjutkan perjalanan. Di perjalanan saya kaget luar biasa.

Kenapah?

Karena, daerah kost-kostan saya yang batal tempo hari di deket PGC itu kebakaran, sodara-sodara. Iya. Kebakaran. Saya melihat puing-puing kebakaran dengan melongo. Setelah sadar dari kaget saya ceritakan sama pacar saya, dan saya bilang, “kalau aku gak denger apa kata bos aku dan tetep tinggal di situ, aku udah jadi abu mungkin.”

Mungkin. Karena bisa jadi saya selamat.

Tapi menjadi korban kebakaran bukanlah hal yang pernah saya pikirkan apalagi saya tengah merantau.

Lalu saya bersyukur saat itu. Tepat saat itu saya langsung memuji Tuhan saya. Alhamdulillah. Subhanallah. Saya selamat. Allah masih sayang sama saya. Masih sayang sama keluarga saya juga.

 

Saya memang sedikit kesal sama bos saya karena mesti bercapek-capek ria lagi mencari kostan baru, tapi ternyata hikmahnya luar biasa.

 

Pesan Moral: secerewet apapun bos saya, tetap aja dia lebih tua dari saya. Pamali ngebantah orang tua.

 

Ohya, soal hidup dan mati memang hanya Tuhan yang tahu, dan mungkin kejadian-kejadian ‘selamat’ seperti itu hanya salah satu cara-Nya agar kita sadar untuk selalu bersyukur dan mengambil hikmah pada setiap kekecewaan.