Perkara Nama

Kala itu, saya dan sahabat-sahabat perempuan saya semasa SMA berkumpul. Nongkrong-nongkrong cantik. Dari anggota yang 5 orang. Yang ikut 4 orang. Ketiganya bawa anak. Satu sisanya bawa adek. Yang bawa adek itu saya πŸ˜‘
Setelah gosip mengudara, perut kenyang, dan stress sedikit hilang karena udah ghibah (jangan ditiru), tibalah saatnya kami pulang.

Seorang teman menelpon suaminya buat minta dijemput. Pada layar ponselnya tertangkap nama lengkap suaminya. Dalam hati saya terbersit, ternyata sudah menikahpun masih pakai nama lengkap buat nama panggilan di kontak hape. Saya mengira pasangan yang telah menikah pastinya punya panggilan sayang atau khusus, semisal: suamiku, my husband, my hubby, my sweetheart, dan my my lainnya. Nyatanya si temen saya gak juga.

Teringat saya sama nama yang saya tulis di nomor kontak untuk semua lelaki yang hadir dalam hidup saya. Mereka semua saya perlakukan sama seperti teman lainnya. Saya tulis nama lengkapnya. Seperti lazimnya nama di kontak hape saya.

Untuk yang sekarang, nama lelaki yang tengah dekat dengan saya ini memiliki nama yang (kalau boleh dibilang dan mohon tidak tersinggung) pasaran. Dan ada 3 teman saya yang bernama sama persis.  6 orang hanya sama nama depannya. Dan kasus salah telepon atau salam nge-bbm kerap terjadi sama saya untuk ngehubungi beliau.

Sampai suatu hari dia komplen. Meminta saya untuk membuat nama khusus buat dia.

Saya tanya, “nama apa?”

“Apa, kek. ‘Sayang, bisa. Calon suami, bisa juga”.

“Gak usah pake calon calon. Nanti aja kalau udah suami beneran. Intan bikin kontak abang jadi ‘suami'”.

Ketika saya memikirkan hal ini, teman saya yang satunya yang duduk di sebelah kirinya yang juga dapat melihat layar hape si temen, berujar, “buset…. Nama lengkap ya kamu buat di kontak?”

Si temen yang ini langsung nyaut dengan nada emosi, “Iya. Aku kesal. Masak dia buat nama aku, ya nama lengkap aku di hapenya dia. Aku ganti jugalah. Biar sama”

Saya tertawa. Keras sekali 

Ternyata oh ternyata…

Lalu kami membahas soal keharusan mengganti panggilan sayang di kontak hape. 

Selain si temen yang lagi kesel tadi. Semuanya membuat nama panggilan khusus di hapenya untuk pasangan mereka. Ya… Seharusnya memang begitu menurut mereka. 

Panggilan khusus wajib ada.

Panggilan khusus yang terus dituntut lelaki itu untuk dibuat di hapenya. Selayaknya dia membuat panggilan khusus untuk saya di hapenya.

Namun bagi saya itu belumlah menjadi keharusan. Dia masih berupa calon. Calon yang akan mengisi hati saya selamanya. Nanti. Belum tau iya atau tidak. Makanya saya katakan, ketika sudah menikahlah baru akan saya ganti namanya.

Jadi kalian, apa nama kontak kekasih hati kalian yang tertera di ponsel?

Si Kura

Di sebuah gerai donat saya tengah mengantri untuk memesan minuman. Seperti biasa, ketika mengantri pikiran suka melayang ke mana-mana. Kali itu pikiran saya menguak sebuah ide.

Hmmm… ntar pas mesen minum lalu ditanya namanya saya mau bilang nama saya…

Saya maju ketika antrian saya tiba.

β€œGreen Tea Frappe satu dan Iced Thailand Tea satu”

β€œGelas besar atau kecil?”

β€œKecil.”

β€œAtas nama siapa ya, Bu?”

β€œKura,” jawab saya mantap.

Pelayan dibalik cashier machine mendongak sekali lagi. β€œMaaf bu?”

β€œKura,” sekali lagi sambil senyum usil.

Agak lama kemudian nama Kura dilantangkan oleh pelayan tanda minuman pesanan saya telah siap. Saya ambil. Dan entah kenapa saya senyum senang telah berhasil menjadi orang lain untuk sesaat. Memunculkan alter ego yang lain.

Ide mengubah nama ini saya contek dari entah Raditya Dika entah Panji entah Roy Saputra. Saya lupa. Yang jelas saya pernah membaca ide ini di blog entah siapa.

Kenapa memakai nama Kura?

Nama blog?

Bisa jadi. Tapi tidak sepenuhnya.

Seorang blogger yang sudah lama hiatus sejak menikah kerap memanggil saya β€œKura” di kolom komentar blog saya maupun blog dia. Dia adalah Mifta yang saya panggil Tuta.

Isengnya dia selalu memanggil saya Kura alih-alih Intan meski dia tau nama saya Intan.

Tak masalah. Kura pasti hasil merujuk dari nama blog saya Kura-kura Hitam.

Namun sebenarnya bukan hanya Tuta yang memanggil saya dengan sebutan Kura.

Sosok lain tersebut adalah Ayah saya.

Loh kok?

Mari saya kasih tau sebuah rahasia besar. Rahasia yang jangan diumbar ke siapapun. Tolong jaga rahasia ini. Oke?

Nama lengkap saya adalah Intan Khuratul Aini. Itu rahasia ya?

Sejarah nama saya cukup unik. Pernah saya ceritakan entah di blog ini entah di catatan facebook. Nama saya beberapa kali mengalami transformasi. Nama lahir saya berbeda dengan nama TK saya. Nama TK saya beda dengan nama SD saya. Terus akta lahir saya apa dong?

Syukurnya akta itu dibuat setelah saya besar. Setelah kuliah kalau tidak salah. Ini akibat malesnya ibu saya ngurus akta kelahiran sih ya. Setelah kami semua besar barulah empat orang anaknya dibuatkan aka kelahiran.

Oke soal nama.

Kura panggilan dari Ayah saya itu merujuk ke nama tengah saya sekarang. Khuratul. Harusnya Khura ya. Makhraj-nya harusnya jelas. Namun yang dipanggil memanglah Kura bukan Khura. Kenapa?

Karena merujuk surat cinta ayah saya kepada Ibu saya, nama yang beliau berikan untuk saya adalah KURATUL AINI. Itulah nama lahir saya. Nama sebenarnya saya. Nama pemberian Ayah saya. Yang lalu kena modif jadi Khuratul sebelum terus bertransformasi.

Kamu boleh baca tulisan ini: Ayahku Tak Tahu Namaku. Tapi itu tulisan jaman dengan gaya nulis masih acak adut.

Maka itu ayah saya kerap memanggil saya Kura kalau beliau lagi iseng plus males manggil Khuratul Aini. Belakangan saja, ketika saya sering merantau ke sana ke mari mencari sebongkah berlian sebutan Kura mulai samar terdengar tergantikan dengan panggilan umum saya di rumah ‘adek’ atau ‘Intan’.

Maka itu saya abaikan Tuta memanggil saya Kura. Tak mengapa. Toh itu juga nama saya. Meski pas kecil sering misuh misuh sama ayah seenaknya menyingkat nama saya, tapi kini entah kenapa nama Kura terkesan lucu juga terdengar.

Satu nama. Dua arti. Pertama nama saya, kedua nama blog saya.

Jadi mungkin mulai sekarang bila saya harus menyebutkan nama saya untuk sesuatu hal yang sepele seperti memesan minuman. Saya akan menggunakan nama Kura. Atau Khura.