Menikah Dengan Siapa

Setiap kali mendapat undangan pernikahan dari seorang teman yang pertama kali ingin saya ketahui adalah ‘apakah mempelai prianya adalah pacar si temen?’

Singkat cerita. Gak ada unsur perjodohan baik sukarela maupun terpaksa disana.

Suka ngeliat ketika temen saya akhirnya menikah sama orang yang memang telah ia pacari selama beberapa waktu. Karena setidaknya, istilah ‘Pacar di awak kawin di orang’ gak berlaku.

Yah.. beberapa kisah memang berjalan indah seperti itu. Menikah dengan orang yang dicintai dan dipacari. Tapi bagaimana yang tidak seberuntung itu?

“Perempuan bisa memilih dengan siapa dia berpacaran tetapi gak bisa memilih dengan siapa dia akan menikah” itu kata-kata temen saya.

Miris?

Hemmmm…

Saya saja ngerasa mungkin akan menjadi bagian dari perempuan yang gak beruntung itu. MUNGKIN yah. Entah kenapa saya seperti melihat nantinya saya akan menikah dengan orang yang tidak saya sukai, cintai, sayangi, namun pilihan terbaik dari ORANG TUA. Saya gak sembarang bicara, ini bisa terjadi dengan alasan:

  1. Saya gak punya pacar yang bisa saya kenalkan kepada orang tua saya
  2. Saya sulit jatuh cinta.
  3. Kemungkinan saya gak akan memikirkan pernikahan kalau orang tua gak mendesak.
  4. Orang tua saya stress ngeliat saya masih single ketika berusia 28.

Maka mungkin ketika usia saya sedikit demi sedikit meninggalkan angka 25, yang tadinya si Mami bersikap mencoba santai saya rasa bakal kelimpungan juga. Yang tadinya gak mau menjodoh-jodohkan saya dengan siapapun, saya rasa nanti bakal mengeluarkan jurus mak comblang andalannya.

Dan.. mungkin akhirnya saya akan dapati diri saya duduk di pelaminan sama seorang pria yang hanya saya tau namanya. Lalu kami menikah hanya untuk sebuah ‘keharusan’.

Menyedihkan? Gak juga. Toh saya gak kehilangan hal berharga. Lain halnya ketika saya sudah memacari satu orang tertentu kemudian orang tua saya tidak setuju dan malah menjodohkan saya dengan lelaki pilihan mereka.

Itu setidaknya pikiran saya sampai tahun lalu.

Sekarang?

Entah kenapa saya kini berpikir. Setidaknya saya harus merasakan cinta pada calon suami saya kelak. Pun sampai sekarang saya gak bisa mengenalkan siapapun sebagai pacar saya pada orang tua saya. Setidaknya, saya berharap suatu saat itu akan terjadi. Atau kalaupun perjodohanlah yang menjadi jalan saya untuk menikah. Saya hanya berharap, Tuhan memberikan saya rasa cinta untuk mencintainya, yang mana dia juga harus balik mencintai saya. Dengan rasa yang lebih besar. Dengan kesabaran yang tanpa akhir. Dengan rasa yang selalu tak pernah bosan.