Hantu Purple Line

Berdasarkan jadwal jalan-jalan, hari itu kami akan keliling Kuala Lumpur menggunakan bus gratisan bernama GO KL. Bus ini terdiri dari 4 Jalur. Jalur Merah, Jalur Ungu, Jalur Biru dan Jalur Hijau. Jalur Ungu melewati tempat-tempat wisata yang umum.

Menyusuri jalur ungu, hentian pertama tujuan kami adalah China Town. Begitu turun dari bus dengan perasaan excited kami menyusuri jalan mencai lokasi persis China Town dengan menggunakan papan petunjuk nama jalan dan bermodalkan tanya orang yang berlalu-lalang. Sungguh sial, kemarin di bandara lupa ngambil Tourist Map.

Celingukan mencari China Town yang belum ketemu. Mata saya liar mencari sosok yang bisa saya tanyakan lokasi. Sesosok lelaki berpakaian serba hitam dengan rambut gondrong acakan dan berwajah sedikit chinesse berada di dalam jangkauan dan kebetulan sedang mengarah pada saya dan teman-teman saya.

Ketika saya bertanya, ia menunjukkan lokasi China Town dengan sangat spesifik. Berjalanlah kami menyusuri tempat yang ditunjuknya setelah terlebih dahulu mengucapkan terima kasih plus senyum pepsoden. Akibat datang terlalu pagi China Town belum lagi menunjukkan aktivitasnya.

Langkah kami terus melaju. Tujuan selanjutnya ke Pasar Seni sambil melewati Little India. Sosok lelaki berpakaian serba hitam tadi terus mengikuti kami. Pikir saya sederhana, kami memunyai jalur tujuan yang sama.

Ketika tengah melihat kuil di Little India dan beberapa teman saya sibuk membidik kamera-nya ke patung-patung para dewa dewi di atas kuil. Sebuah suara melintas terlalu dekat di telinga saya.

“Halooo sayaaaaang….” dengan suara mendesah menggelikan. Terkaget, saya langsung melihat siapa gerangan orang yang menyapa saya begitu. Apakah ada inang-inang dari Petisah?

Ternyata saya dapati lelaki yang tadi menunjukkan arah pada kamilah yang menyapa saya begitu horor ditambah seringai yang langsung membuat saya kaget. Ketiga teman saya langsung panik. Saya apalagi. Serasa saya dijadikan target.

Buru-buru kami meninggalkan kuil dan membiarkan pertanyaan adik saya tak terjawab tentang kenapa ada pohon pisang di depan pintu kuil. Kami menyebrang agar tak satu jalan dengan lelaki aneh tadi. Namun ketika kami ngerasa aman dia kembali melakukan hal serupa seperti tadi di telinga saya.

Ada semacam keanehan pada diri saya. Saya selalu merinding bila seorang lelaki menggunakan kata ‘sayang’ pada saya dengan intonasi tertentu. Nah.. disapa seperti itu dengan orang aneh otomatis perasaan gusar saya jadi berkali lipat. Gusar. Geli. Panik. Dan ngeri. Double combo.

Seringainya masih serupa, jaketnya masih tak rapi dipakai. Sebelah menutupi lengannya, sebelah lagi tersampir asal.

Adik saya langsung berkomentar kalau lelaki itu seperti tidak waras. Matanya kelihatan lain. Seperti mata seorang pecandu. Setelah diperhatikan, memang benar. Penampilannya cukup berantakan. Rambutnya gondrong asal. Jaket yang dipakai tak rapi menutupi tubuhnya. Wajahnya kusam. Seringainya mengerikan. Dan giginya ompong. Kenapa tadi saya tidak memerhatikan itu semua?

Terkadang saya syebel juga dengan ketidakpedulian saya terhadap orang lain ini. Sering kali saya alpa dalam menyelidik orang lain dan menyapu pandangan ke tampilan mereka. Saya terlalu cuek pada sosok orang lain bila orang tersebut tak punya kepentingan apa-apa bagi saya. Dan hal inilah yang membuat saya akhirnya bertanya asal pada orang tanpa memandang tampilannya terlebih dahulu.

Tepat setelah suara panggilan “sayaaaang” kedua melintas di telinga saya wajah saya pucat pasi. Ini bener. Saya dijadikan targetnya. Saya bisa apa? Saya dan ketiga teman perjalanan saya baru kali ini menginjak Kuala Lumpur dan baru ini hari pertama kami jalan-jalan. Kami harus lari ke mana?

Namun akhirnya jurus alami menyelamatkan diri nomor satu kami lakukan. Lari. Iya, kami lari. Di ujung jalan kami melihat deretan taksi. Kami naiki taksi tersebut dan meminta sopir taksi membawa kami sejauh mungkin. Menghilang dari lelaki aneh tersebut.

Di dalam taksi kami melihat lelaki aneh tersebut terlihat berusaha mengejar kami. Jaket ia kancingkan dengan mantap.langkah kaki ia percepat, ia berniat mengejar kami,

Dengan kepadatan jalan, saya khawatir ia mampu mengejar dan mengetahui lokasi tujuan kami. Namun syukurlah kecepatan roda empat mampu mengalahkan derap dua langkah kaki yang berlarian.

Terlepas dari dia akhirnya kami merasa aman. Dengan perasaan campur aduk dan hati masih kalut saya dan rekan memutuskan kembali ke hotel. Tenangin diri dulu. Shalat dulu. Baru lanjut jalan lagi.

Ronde kedua. Setelah mandi dan berganti kostum kami hendak ke Berjaya Times Square untuk membeli tiket menuju Colmare Tropicale. Setelah lelah menyusuri jalan yang ditunjuk oleh penduduk setempat yang muter-muterin Sungai Wang, akhirnya kami sampai di lokasi yang kami maksud.

Hajat terselesaikan di Berjaya Times Square. Selanjutnya kami hendak kembali lagi ke rencana semula. Ke Pasar Seni. Kembali kami menaiki bus Go KL Jalur Ungu. Begitu kami mendapatkan tempat duduk di dalam dan merasa sungguh sangat letih akibat berjalan kaki ke BTS, kami merasa ini saatnya istirahat sejenak.

Namun Pasar Seni tak dapat diraih, manusia aneh tak dapat ditolak. Baru ngerasa nyaman sejenak duduk di Bus sosok lelaki aneh itu kembali menyapa kami. Seketika wajah pias kembali tercetak di muka saya dan rekan seperjalanan. Menurut salah satu teman, awalnya ia duduk di bagian belakang bus. Lalu tiba-tiba berpindah posisi duduk di depan teman saya yang berada di bagian depan bus. Butuh beberapa menit bagi teman saya untuk sadar kalau itu adalah lelaki yang sama yang mengikuti kami di seputaran China Town dan Little India. Begitu tersadar si temen langsung menghampiri kami yang duduk di bagian paling depan bus. Saya bahkan tak berani menolehkan wajah saya untuk mengonfirmasi bahwa itu lelaki yang sama. Saya gak pernah secemen itu menghadapi orang. Tapi ngadapin orang gak waras di negeri orang ternyata cukup membuat ketangguhan saya terkikis. Mungkin ini juga dari efek saya ngerasa sayalah yang dijadikan targetnya.

Temen saya yang lain menginstruksikan dalam suara perlahan agar kami segera turun di halte berikutnya. Turun tepat ketika pintu bus hendak menutup agar ia tak sempat mengikuti.

Jelas saja. Begitu para penumpang turun dan jatah para penumpang terakhir naik jelang ditutup pintu, kami berempat berhamburan keluar dari bus. Sempat membuat kepanikan di bagian depan bus. Sempat diprotes oleh penumpang yang hendak naik. Sempat diomeli oleh sopir bus. Tapi kami gak mau tau apapun selain terbebas secepatnya dari lelaki aneh dan seringai menyeramkannya.

Turun dari bus kami berlarian heboh. Takut kalau ia juga sempat turun dari bus. Dan mengingat halte selanjutnya jaraknya lumayan dekat dan bisa dijangkau dengan jalan kaki, kami terus berlari berharap ia kehilangan jejak kami.

Aksi lari-larian kami cukup heboh. Saya paniknya juara dan hampir nangis. Beberapa orang yang berada di sekitar kami memandang kami heran. Ah sudahlah. Yang jelas kami harus selamat. Kami harus terbebas dari lelaki penguntit aneh itu. Masa depan kami masih panjang. Dan kami gak mau menjadi korban kriminal lelaki aneh itu di negeri orang. Ribet entar di keduataannya. Bisa molor jadwal kami balik ke Aceh dan bisa batal ntar pernikahan salah satu sahabat saya yang juga ikut dalam trip ini.

Singkat cerita kami memutuskan menyerah ke Pasar Seni hari itu dan menyimpulkan kalau ia adalah Hantu Purple Line Bus GO KL. Dia akan ada dan bergentayangan terus di Jalur Ungu. Dan kami harus waspada. Malah kami memutuskan untuk tidak lagi naik bus GO KL Jalur Ungu dan mempersetankan pergi ke Pasar Seni.

Esoknya. Mental sudah pulih. Seorang teman meyakinkan kami kalau hari ini mungkin Hantu Purple Line gak akan muncul. Gak mugkin juga dua hari berturut-turut berjumpa dengannya.

Saya yang paling menentang keinginan teman saya untuk kembali naik bus GO KL dan ke pasar Seni. Namun saya kalah suara. Akhirnya saya turuti. Lalu saya berkata, “Kalau hari ini kita jumpa lagi dengan dia, maka mungkin inilah makna dari lagu Afgan ‘Jodoh Pasti Bertemu’.”

Pagi itu kami ke Pasar Seni naik bus GO KL Jalur Ungu. Sebelum naik bus kami memastikan dulu Hantu itu tidak ada. Dan dengan menutup-nutupi muka kami naik ke dalam bus dan berhasil meyakinkan diri kalau dia memang tidak ada.

Pemberhentian bus terakhir adalah Pasar Seni. Kami turun. Begitu turun kami menguasai medan dulu. Melihat sekeliling kemanakah kaki harus kami langkahkan. Di tengah celingak-celingukan itu, mata adik saya menangkap satu sosok. Sosok lelaki berpakaian serba hitam dengan seringai aneh menyeramkan. Wajah yang sama seperti kemarin. Baju yang sama dan seringai yang sama pula. Sepertinya sebelum kami menyadarinya dia sudah duluan menyadari kehadiran kami di terminal itu. Dua teman saya belum sadar ada apa di depannya dan terus melangkah. Dengan panik saya dan adik saya berteriak menghentikan langkah mereka. Tepat ketika kami semua telah sadar akan sosoknya seringaian kembali ia layangkan.

Lagi. Kami melakukan cara menyelamatkan diri nomor satu andalan kami. Lari.

 

“Tulisan ini diikutkan dalam Giveaway Aku dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang diselenggarakan oleh Liza Fathia dan Si Tunis

 

1