Ketika telah dimulai harus diakhiri. Itulah yang mendasari saya tetep ngeyel bikin postingan lanjutan soal liburan saya ke Korea tahun 2014 silam. Ya.. hampir satu setengah tahun ceritanya belum tamat. Gak heran kenapa novel saya gak kunjung rampung.
Tulisan kali ini menjadi episode terakhir liburan di Korea Selatan sekaligus sebagai Epilog. Biar hutang (pada diri sendiri) segera lunas.
Hari terakhir di Korea Selatan merupakan jadwal kosong nan bebas. Karena kami men-skip jadwal pergi ke Busan pada hari ketiga dan memajukan jadwal lainnya otomatis hari terakhir menjadi jadwal kosong.
Jadwal kosong diisi dengan mengulang pergi ke tempat yang sudah pernah yaitu ke Itaewon dan Namdaemoon Market dengan alasan ada sesuatu yang harus dibeli lagi di kedua daerah tersebut.
Di Itaewon Rizka membeli Quran dengan terjemah berbahasa Korea. Si penjual memberikan harga murah banget karena katanya Qurannya terjadi salah cetak. Mungkin beberapa ayatnya kali yang salah. Karena Rizka bertujuan mengoleksi maka ia pun tak mengapa dengan Quran salah cetak tersebut yang penting ada huruf korea-nya lah pikirnya.
Selesai menemaini Rizka kembal menjelajah Itaewon kami ke Namdaemoon Market (lagi). Belanja ngabisan won terakhir. Kami menuju pintu masuk yag berbeda dari sebelumnya, otomatis kami berada di area penjualan yang berbeda pula.
Seingat saya, saya sibuk memilih baju buat para lelaki di rumah saya, Ayah, abang dan adik. Rizka mencari baju buat dijadikan oleh-oleh. Suci berburu tas pesanan Ibunya.
Langkah kaki saya semakin berat. Engsel lutut saya tak berfungsi lagi. Otot kaki saya memang lemah dan hasil pemeriksaan dokter pun berkata demikian. Kaki saya pantang dibikin capek.
Hari terakhir merupakan penderitaan terberat. Setiap ngeliat tangga saya pengen ngesot. Jalan saya seperti seorang renta. Spasi antara saya dan kedua teman saya begitu jauh. Asal mereka gak meninggalkan saya ketika naik subway dan tetap melihat saya ke belakang sih saya gak apa ditinggalkan langkah. Toh saya gak bisa mengejar langkah mereka lagi.
Hari itu kegiatan kami tak banyak. Selesai belanja kami langsung pulang. Sore sudah tiba kembali di hostel. Saatnya saya beristirahat demi utuhnya kaki saya untuk dibawa pulang ke Aceh esok harinya.
Suci melanjutkan nongkrong dengan teman Koreanya. Yang pulang ke hostel hanya saya dan Rizka.
Ketika saya sibuk mengoleskan krim buat peregangan otot di kaki saya, Rizka beberes koper. Lalu saya tidur. Dan terbangun di tengah malam untuk mandi. Besok harus sudah tiba di bandara pukul 5 pagi. Karena pasti mandi pagi itu wacana banget di tengah musim gugur yang dingin makanya saya mandinya malam aja. Gak sempatpun kalau mandi pagi.
Jam 4 pagi sudah nyeret koper ditengah sepi dan dinginnya pagi musim gugur Korea ke halte bus. Dingin. Lapar. Tapi saat itu belum patah hati. Jadi nelangsanya gak combo.
Singkat cerita malam harinya saya tiba di Aceh masih dengan coat hitam melekat di tubuh. Begitu tiba di Aceh suasana hangat menyapa. Aaah.. tetiba saya rindu panasnya Aceh. Benar adanya. Ketika disuruh milih panas atau dingin, maka saya akan memilih cuaca yang panas ketimbang dingin. Beberapa kali pembuktian tubuh saya gak cocok sama udara dingin. Seperti ketika Latihan Militer penerimaan pegawai, saya mengalami hipotermia akibat main hujan tengah malam dalam agenda jurit malam. Lalu ketika di Korea, kulit wajah dan kaki saya mengering dan keriput akibat cuaca dingin.
Pergi ke Korea merupakan perjalanan terjauh pertama saya. Perjalanan ke luar negeri pertama saya. Dalam empat kombinasi perempuan yang melakukan perjalanan bersama ke Korea Selatan ini satu diantaranya temen saya, dua baru saya kenal ketika melakukan perjalanan ini.
Saya selalu exciting bepergian dengan orang yang tak saya kenal. Selain menambah temen baru yang berarti bisa nambah kontak di wasap atau bbm juga berarti menambah wawasan saya terhadap apapun kelebihan orang tersebut yang patut dipelajari.
Seperti betapa kagumnya saya melihat Suci yang jago baca peta. Rizka juga bisa. Tapi perjalanan kali ini digawangi oleh Suci karena selain baca peta dia juga bisa membaca tulisan Korea yang petak-petak bulet-bulet itu. Saya kagum dan iri dengan Carina yang stempel di paspor-nya udah banyak dan betapa ini anak suka membaca. Bacaannya novel Haruki Murakami versi bahasa inggris. Ketika saya pinjem buat baca, kok susah banget saya move on dari halaman pertama ya? (red: harus pigi les lagi, Tan)
Lalu ada Rizka yang penuh perhatian terhadap rekan seperjalanan. Terlihat gimana dia yang selalu memastikan saya masih ada dalam jangkauan matanya ketika kaki saya mulai melemah buat dipake jalan dan naik turun tangga yang tiada akhir saat di stasiun subway. Juga bagaimana paniknya dia karena Suci yang belum pulang pada jam yang telah ia janjikan untuk tiba kembali ke hostel saat nongkrong cantik bersama teman Koreanya.
Melakukan perjalanan selalu menyenangkan. Menjadi suatu tim dan bagaimana tim itu bekerja menjadi perhatian saya kini. Bagaimana komunikasi dan hubungan yang terjalin akibat suatu perjalanan bersama menjadi hal yang candu bagi saya. Ingin rasanya di lain waktu saya bepergian dengan orang berbeda dan karakter berbeda pun bila perlu ditambah dengan orang yang belum saya kenal.
Karakter setiap orang yang berbeda membawa warna tersendiri pada setiap perjalanan. Inti dari perjalanan bukan hanya melihat suatu tempat baru, berpose di suatu lokasi yang bakal bikin iri orang yang belum pernah ke sana, makan makanan khas negara/daerah tersebut, namun juga, menambah teman dan menciptakan interaksi baru dari segala lika-liku perjalanan yang pasti selalu ada intrik-nya.
Untuk perjalanan Korea Selatan di musim gugur tahun 2014 lalu saya mengucapkan terima kasih pada Suci yang udah mau mengikutsertakan saya dan berkat jasanyalah saya bisa melihat Korea Selatan tidak hanya melalui drama saja. Makasih buat Rizka yang pada suatu malam iseng nge-wasap saya ngajakin ke Korea Selatan yang langsung bikin saya mupeng. Makasih buat Carina, menjadi teman bercanda di subway yang selalu kebagian jatah berdiri dan memandang iri pada ahjumma-ahjumma yang dapat kursi prioritas.
Korea Selatan. Terima kasih.